Rider
Posted by RedRanger48
Bersama dengan turunnya salju
pertama di kota New York, aku menyeret kakiku memasuki Cafe Don Quixote di Greenwich
Village. Desember yang dingin, cepat juga ternyata waktu berlalu. Sudah dua
bulan aku bekerja di sini. Aku butuh dana untuk menyambung hidup di kota ini.
Kota yang katanya menawarkan mimpi-mimpi. Tapi mungkin tidak untuk seorang
gadis muda dari Pennsylvania yang dengan pongahnya bercita-cita menjadi penyanyi.
Kala aku pertama tiba disini, Mr.
Ackeymoth, sang pemilik cafe, menyambut ku dengan hangat. Dengan badan sedikit
gembul, dengan wajah menyenangkan dia mencoba menjelaskan pekerjaanku disini
kelak. Sederhana saja, mencatat pesanan, mengantarkan makanan, membereskan
piring kotor. Hmm. Biarlah. Lebih baik daripada harus berakhir memuaskan para
lelaki sebagai penari tiang atau... ah, aku kebanyakan melamun.
Shift malam sungguh membosankan.
Ada enggan yang terserak di pikiranku. Tanpa kusadari bibir ini bersenandung
kecil sembari membereskan meja makan.
“Khayalan yang terbayang-bayang
pada jendela.. waktu yang telah berlalu ilusi.. untungnya aku bisa melihat
mimpi. Khayalan yang terbayang-bayang di langit ini... awan hujan seperti kan
menangis”
“Hai, suaramu bagus juga.” Tegur seseorang
di belakangku.
Aku menoleh. Kulihat sosok
seorang pria. Potongannya agak tegap, dengan jaket kulit membungkus tubuhnya.
Sedikit kumis tipis menghiasi wajahnya. Tapi matanya tegas tertuju, menatapku.
“Erm, terimakasih.” Kataku sembari
terus melanjutkan membereskan meja.
“Kenapa tidak coba menyanyi saja?
Aku butuh sedikit hiburan di malam ini. Kebetulan tidak ada yang mengisi acara
musik di kafe ini hari ini” Pintanya.
“Maaf , saya sedang bekerja,”
ujarku sambil sedikit melirik Mr. Ackeymoth. Aku tidak mau dianggap tidak
professional.
“Tidak apa-apa. Kau tahu, kafe
sedang sepi. Badai salju menggila di luar. Cuma ada 7 pelanggan, kupikir aku
bisa menangani nya sendiri. Dan lagipula, aku ingin mendengar suaramu juga.”
Hmm , tidak ada salahnya. Aku
mengambil gitar yang ada di panggung di tengah ruangan. Aku melayangkan mataku
ke seluruh ruangan, dan terhenti di sebelah kanan, tempat pria tadi duduk.
Kembali, ia menatapku dengan tajam. Seakan menembus pikiranku saja.
Lalu aku memainkan lagu tadi ,
lagu karanganku berjudul ‘Khayalan’.
Lagu selesai. Tidak ada applause.
Semua hening. Ya, apa yang aku harapkan? Aku bukan artis peraih Grammy.
Tapi lelaki tadi bertepuk tangan
sambil berteriak. Ya, berteriak.
“Satu lagu lagi!”
Baiklah, akupun menyanyikan lagu “Summer
Has Gone”, pun lagu ciptaanku sendiri. Dan lagu berikutnya. Dan lagu
berikutnya.
Selesai menyanyikan lagu demi
lagu, pria tadi kemudian berdiri. Dia menyalamiku sambil berkali-kali
mengucapkan terimakasih. Entah mengapa, dia terlihat sangat bahagia. Apakah
lagu-laguku menghibur dia? Ah, tidak mungkin.
Aku pergi ke dapur sebentar untuk
mengambil air. Saat aku kembali, pria tadi sudah tidak di meja tadi.
“Tadi itu siapa, Mr. Ackeymoth?
Kau mengenalnya?” tanyaku pada manajerku.
“Aku tidak tahu pasti sih
namanya. Tapi dia sering kemari. Duduknya juga selalu di tempat tadi. Tapi
karena dia selalu pergi kemana-mana membawa motor, orang-orang disini menyebutnya
Mr. Rider.”
Rider ya? Hmm.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak itu, aku diberi kesempatan
oleh Mr. Ackeymoth untuk mengisi musik pengiring di kafe ini. Menurut mereka
suaraku menghibur. Dan setiap kali aku tampil, Mr. Rider selalu muncul. Selalu
di meja yang sama. Perlahan, semakin banyak orang yang datang untuk melihat aku
mengisi musik di kafe ini. Ada yang bilang, aku cantik. Ada juga yang
terang-terangan mengatakan mengagumiku. Aku hanya bisa tersenyum. Perhatian
semacam ini tidak pernah aku terima sebelumnya.
Tapi malam ini berbeda, dia tidak
juga muncul. Hmm, aku memandang ke meja tempat ia biasa duduk, namun kini diisi
seorang pastor dan suster dari Paroki seberang. Mungkin dia tidak datang.
Padahal biasanya dia tahu-tahu sudah muncul saja. Seperti saat Valentine lalu,
kukira dia tidak datang. Namun tiba-tiba saat aku selesai tampil dia sudah ada
saja membawa seikat bunga.
Malam itu, aku izin pulang
duluan. Kepalaku agak sedikit pusing, mungkin kecapaian. Di depan, Mr. Rider
baru saja sampai dengan sepeda motor tua nya.
“Maaf ya datang terlambat. Lho,
kamu tidak tampil malam ini?”
“Kepala saya agak sedikit pusing,
mau langung pulang saja.”
“Mau saya antar?”
Tidak ada salahnya, pikirku. Maka
kuterima helm yang ia berikan. Kunaiki motor tua itu. Lalu menderu sepanjang jalan
meninggalkan Greenwich Village, di bawah langit gelap, nampaknya malam ini akan
turun hujan.
Sesampai di depan apartemen ku,
entah mengapa aku memberanikan diri bertanya “Erm, masih ingat waktu kamu
pertama kali menyuruhku bernyanyi. Saat aku selesai bernyanyi, kau terlihat
sangat bahagia. Mengapa demikian?”
Mr. Rider hanya terdiam, lalu
sedikit senyum muncul di wajahnya.
“You make me happy. Kau membuatku
bahagia. Akupun tidak tahu penyebabnya. Mungkin karena suara dan alunan lagu
dari gitarmu membuat ku kembali memaknai hidup ini.”
“Kau tahu, akupun sepatutnya berterimakasih
kepadamu. Kalau tidak karena permintaanmu, mungkin aku sudah melupakan impian
terpendamku sebagai musisi. Saat putus asa, yang kuingat adalah dirimu yang
bertepuk tangan menyemangatiku. Dan mungkin aku tidak akan pernah menyanyi lagi”
Dia turun dari motor lalu
menjabat tanganku.
“Tetaplah bernyanyi, karena
suaramu membuat orang bahagia. Sampai saat semua orang melupakan pertikaian dan
berita perang yang sedih, teruslah bernyanyi. Meski nanti aku tidak akan selalu
ada mendengarkan nyanyianmu.”
“Er, maksudnya apa? Mau pindah ke
luar kota ya?”
“Mungkin. Hahaha. Iya, mungkin
pindah ke kota yang jauh. Baiklah, saya pergi dulu”
Lalu ia meninggalkanku dengan
hati penuh tanya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Belakangan Mr. Rider tak terlihat
di tempat ini, ku jadi khawatir. Sudah memasuki minggu ketiga musim panas dan tidak
sekalipun dia muncul. Kemana kira-kira? Apakah betul dia pindah ke luar kota?
Sementara itu, aku mulai mendapat
job di luar. Dan seorang produser tertarik untuk “mengorbitkan” menjadi
penyanyi. Aku ingin sekali dia ada untuk melihat aku mengeluarkan lagu untuk
pertama kali sebagai seorang penyanyi, tidak lagi menjadi sekedar musisi kafe
semata.
Bunyi pintu yang dibuka
membuyarkan lamunanku. Mr. Ackeymoth muncul, tapi air muka nya terlihat sangat
muram.
“Shiho! Kau takkan mempercayai
hal ini...”
Tetapi kata-kata berikutnya tak
kuingat lagi, karena kata-kata yang keluar seperti badai yang bergemuruh. Aku
terduduk lemas.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku menatap pusara itu, untuk
pertama kalinya aku mengetahui nama lelaki yang selalu ada mendukungku. Ia
jatuh sakit mendadak saat akan pulang dari kantornya. Malang, ia tak dapat
diselamatkan.
Apakah langit disana cerah. Mr.
Rider? Ternyata benar kau pergi keluar kota. Kota yang sangat jauh. Yang tak
mungkin bisa kugapai saat ini.
Terimakasih, Mr. Rider.
(Sebuah FIksi yang terinspirasi sebuah lagu indah)
0 comments: