Monday, February 10, 2014

Rider

Posted by RedRanger48


Bersama dengan turunnya salju pertama di kota New York, aku menyeret kakiku memasuki Cafe Don Quixote di Greenwich Village. Desember yang dingin, cepat juga ternyata waktu berlalu. Sudah dua bulan aku bekerja di sini. Aku butuh dana untuk menyambung hidup di kota ini. Kota yang katanya menawarkan mimpi-mimpi. Tapi mungkin tidak untuk seorang gadis muda dari Pennsylvania yang dengan pongahnya bercita-cita menjadi penyanyi.
 


Kala aku pertama tiba disini, Mr. Ackeymoth, sang pemilik cafe, menyambut ku dengan hangat. Dengan badan sedikit gembul, dengan wajah menyenangkan dia mencoba menjelaskan pekerjaanku disini kelak. Sederhana saja, mencatat pesanan, mengantarkan makanan, membereskan piring kotor. Hmm. Biarlah. Lebih baik daripada harus berakhir memuaskan para lelaki sebagai penari tiang atau... ah, aku kebanyakan melamun.

Shift malam sungguh membosankan. Ada enggan yang terserak di pikiranku. Tanpa kusadari bibir ini bersenandung kecil sembari membereskan meja makan.

“Khayalan yang terbayang-bayang pada jendela.. waktu yang telah berlalu ilusi.. untungnya aku bisa melihat mimpi. Khayalan yang terbayang-bayang di langit ini... awan hujan seperti kan menangis”

“Hai, suaramu bagus juga.” Tegur seseorang di belakangku.

Aku menoleh. Kulihat sosok seorang pria. Potongannya agak tegap, dengan jaket kulit membungkus tubuhnya. Sedikit kumis tipis menghiasi wajahnya. Tapi matanya tegas tertuju, menatapku.

“Erm, terimakasih.” Kataku sembari terus melanjutkan membereskan meja.

“Kenapa tidak coba menyanyi saja? Aku butuh sedikit hiburan di malam ini. Kebetulan tidak ada yang mengisi acara musik di kafe ini hari ini” Pintanya.

“Maaf , saya sedang bekerja,” ujarku sambil sedikit melirik Mr. Ackeymoth. Aku tidak mau dianggap tidak professional.

“Tidak apa-apa. Kau tahu, kafe sedang sepi. Badai salju menggila di luar. Cuma ada 7 pelanggan, kupikir aku bisa menangani nya sendiri. Dan lagipula, aku ingin mendengar suaramu juga.”

Hmm , tidak ada salahnya. Aku mengambil gitar yang ada di panggung di tengah ruangan. Aku melayangkan mataku ke seluruh ruangan, dan terhenti di sebelah kanan, tempat pria tadi duduk. Kembali, ia menatapku dengan tajam. Seakan menembus pikiranku saja.

Lalu aku memainkan lagu tadi , lagu karanganku berjudul ‘Khayalan’. 

Lagu selesai. Tidak ada applause. Semua hening. Ya, apa yang aku harapkan? Aku bukan artis peraih Grammy.

Tapi lelaki tadi bertepuk tangan sambil berteriak. Ya, berteriak.

“Satu lagu lagi!”

Baiklah, akupun menyanyikan lagu “Summer Has Gone”, pun lagu ciptaanku sendiri. Dan lagu berikutnya. Dan lagu berikutnya.

Selesai menyanyikan lagu demi lagu, pria tadi kemudian berdiri. Dia menyalamiku sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih. Entah mengapa, dia terlihat sangat bahagia. Apakah lagu-laguku menghibur dia? Ah, tidak mungkin.

Aku pergi ke dapur sebentar untuk mengambil air. Saat aku kembali, pria tadi sudah tidak di meja tadi.

“Tadi itu siapa, Mr. Ackeymoth? Kau mengenalnya?” tanyaku pada manajerku.

“Aku tidak tahu pasti sih namanya. Tapi dia sering kemari. Duduknya juga selalu di tempat tadi. Tapi karena dia selalu pergi kemana-mana membawa motor, orang-orang disini menyebutnya Mr. Rider.”

Rider ya? Hmm.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sejak itu, aku diberi kesempatan oleh Mr. Ackeymoth untuk mengisi musik pengiring di kafe ini. Menurut mereka suaraku menghibur. Dan setiap kali aku tampil, Mr. Rider selalu muncul. Selalu di meja yang sama. Perlahan, semakin banyak orang yang datang untuk melihat aku mengisi musik di kafe ini. Ada yang bilang, aku cantik. Ada juga yang terang-terangan mengatakan mengagumiku. Aku hanya bisa tersenyum. Perhatian semacam ini tidak pernah aku terima sebelumnya.

Tapi malam ini berbeda, dia tidak juga muncul. Hmm, aku memandang ke meja tempat ia biasa duduk, namun kini diisi seorang pastor dan suster dari Paroki seberang. Mungkin dia tidak datang. Padahal biasanya dia tahu-tahu sudah muncul saja. Seperti saat Valentine lalu, kukira dia tidak datang. Namun tiba-tiba saat aku selesai tampil dia sudah ada saja membawa seikat bunga.

Malam itu, aku izin pulang duluan. Kepalaku agak sedikit pusing, mungkin kecapaian. Di depan, Mr. Rider baru saja sampai dengan sepeda motor tua nya.

“Maaf ya datang terlambat. Lho, kamu tidak tampil malam ini?”

“Kepala saya agak sedikit pusing, mau langung pulang saja.”

“Mau saya antar?”

Tidak ada salahnya, pikirku. Maka kuterima helm yang ia berikan. Kunaiki motor tua itu. Lalu menderu sepanjang jalan meninggalkan Greenwich Village, di bawah langit gelap, nampaknya malam ini akan turun hujan.

Sesampai di depan apartemen ku, entah mengapa aku memberanikan diri bertanya “Erm, masih ingat waktu kamu pertama kali menyuruhku bernyanyi. Saat aku selesai bernyanyi, kau terlihat sangat bahagia. Mengapa demikian?”

Mr. Rider hanya terdiam, lalu sedikit senyum muncul di wajahnya.

“You make me happy. Kau membuatku bahagia. Akupun tidak tahu penyebabnya. Mungkin karena suara dan alunan lagu dari gitarmu membuat ku kembali memaknai hidup ini.”

 “Kau tahu, akupun sepatutnya berterimakasih kepadamu. Kalau tidak karena permintaanmu, mungkin aku sudah melupakan impian terpendamku sebagai musisi. Saat putus asa, yang kuingat adalah dirimu yang bertepuk tangan menyemangatiku. Dan mungkin aku tidak akan pernah menyanyi lagi”

Dia turun dari motor lalu menjabat tanganku.

“Tetaplah bernyanyi, karena suaramu membuat orang bahagia. Sampai saat semua orang melupakan pertikaian dan berita perang yang sedih, teruslah bernyanyi. Meski nanti aku tidak akan selalu ada mendengarkan nyanyianmu.”

“Er, maksudnya apa? Mau pindah ke luar kota ya?”

“Mungkin. Hahaha. Iya, mungkin pindah ke kota yang jauh. Baiklah, saya pergi dulu”

Lalu ia meninggalkanku dengan hati penuh tanya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Belakangan Mr. Rider tak terlihat di tempat ini, ku jadi khawatir. Sudah memasuki minggu ketiga musim panas dan tidak sekalipun dia muncul. Kemana kira-kira? Apakah betul dia pindah ke luar kota?

Sementara itu, aku mulai mendapat job di luar. Dan seorang produser tertarik untuk “mengorbitkan” menjadi penyanyi. Aku ingin sekali dia ada untuk melihat aku mengeluarkan lagu untuk pertama kali sebagai seorang penyanyi, tidak lagi menjadi sekedar musisi kafe semata.

Bunyi pintu yang dibuka membuyarkan lamunanku. Mr. Ackeymoth muncul, tapi air muka nya terlihat sangat muram.

“Shiho! Kau takkan mempercayai hal ini...”

Tetapi kata-kata berikutnya tak kuingat lagi, karena kata-kata yang keluar seperti badai yang bergemuruh. Aku terduduk lemas.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku menatap pusara itu, untuk pertama kalinya aku mengetahui nama lelaki yang selalu ada mendukungku. Ia jatuh sakit mendadak saat akan pulang dari kantornya. Malang, ia tak dapat diselamatkan.

Apakah langit disana cerah. Mr. Rider? Ternyata benar kau pergi keluar kota. Kota yang sangat jauh. Yang tak mungkin bisa kugapai saat ini.

Terimakasih, Mr. Rider.



 (Sebuah FIksi yang terinspirasi sebuah lagu indah)

0 comments: